Di
tepi rawa, hidup sekawanan unggas. Ada itik, ayam, bangau, pipit dan
sebagainya.mereka hidup bangau dan bahagia. Rawa itu luas dan menyediakan
banyak makanan.
Kalau
senja tiba, matahari turun kesebelah barat, air berwarna keemasan. Tampak indah
dilihat. Angsa dan bebek berenang-renang, bangau melamun dibawah pohon, burung
pipit benari-nari diatas ranting,dan ayam berkotek bercengkram ditepian. Salah
satu bebek berusia remaja. Namanya wek-wek. Tubuhnya kuat dan paruhnya berwarna
coklat tua. Ia lincah bermain kesana kemari. “wek-wek-wek…..! teriak wekwek.
“selamat sore pak angsa.” Sapanya sambil mencipratkan air kemuka pak angsa.
“ho-ho! Selamat sore!” jawab pak angsa sambil
menutupi wajahnya agar tidak terkena cipratan air.
“Kenapa
kau masih bermain? Lihatlah hari sudah sore. Kau harus mencari makan supaya
nanti malam tidak kelaparan.”
“Ah……..tidak mau!” kata wekwek. “ Aku mau
bermain!” teriaknya. Ia menjauh sambil kembali mencipratkan air kemuka pak
Angsa. Cepat-cepat Pak Angsa menutupi mukanya.
Menjelang
malam, wekwek pulang kekandang. Ia berjalan lunglai dengan perut keroncongan.
“wekwek….lapar sekali,” keluhnya. “Kenapa malam selalu gelap? Kalau begini aku
tidak bisa mencari makan.”
Untunglah Pak Angsa yang baik hati memberinya
makanan. “ini, makanlah! Dan segeralah tidur!”
“Oho….terimakasih!’ kata wekwek. Ia segera
makan dengan lahap. ‘ingat, segeralah tidur dan jangan membuat gaduh agar tidak
mengganggu tetanggamu yang ingin istirahat, “ pesan Pak Angsa.
Tapi Wekwek tak menghiraukan nasihat itu. Usai
makan, Ia bernyanyi-nyanyi rebut. “Wek wek wek…..aku bahagia! Perut kenyang,
perutku kenyang! Wek wek wek……hatiku senang!”
Rumah pak jago disamping rumah Pak Wekwek.
Wekwek bernyanyi sampai larut malam. Pak jago merasa tergangu dan tidak bisa
tidur. Berkali-kali ia p[indah tempat tidur, tapi nyanyian Wekwek terus
mengganggu.
“kalau aku tidak segera tidur, aku besok akan
terlambat berkokok.” Keluh Pak Jago. Ia segera meloncat kedahan yang tidak
begitu tinggi. Hap…! Tapi, suara Wekwek masih mengganggu. Pak Jago mencari
dahan yang lebih tinggi lagi. Hap…hap..hap…!
“kenap kesini Pak Jago?” Tanya Bu Pipit
“tempatmu dibawah sana.” Pak Jago tersenyum kecut. “ Maaf, bolehkah aku tidur
disini? Wekwek tidak mau berhenti bermain. Ia terus benyanyi dengan suara yang
rebut.”
“Baiklah, “ kata Bu Pipit ramah. “Tidurlah
disana,” Bu Pipit menunjuk sebuah dahan asam aygn nyaman. “Terimakasih,” kata
Pak Jago.
Pagi
pun tiba.mereka semua bangun pagi. Hari ini mereka ada kegiatan dan senam
bersama. Pak Angsa sebagai Guru mereka. “Hari ini kita akan membahas dan
belajar tentang bagaimana cara mengerami telur” wekwek terus rebut dan tidak
mau mendengar Pak Angsa member pelajaran. Pak Angsa menegur, duduklah yang
tenang dan perhatikan pelajaran!”
“Aaaah…bosan belajar terus,” bantah Wekwek.
“Aku mau bermain!”
“Tidak kata Pak Angsa. “Duduklah dan
perhatikan! Simaklah pelajaran agar kau tidak menjadi anak yang bodoh.”
‘Tidak mau,” bantah Wekwek. Aku mau bermain.”
Wekwek bermain dan meninggalkan sekolah menuju
rawa dan bermain-main.”
“Tralala…aku gembira. Bermain membuat hatiku
gembira. Aku tak maubelajar dan bekerja. Aku hanya ingin bermain dan
bergembira.”
Beberapa hari kemudian, penghuni rawa mulai
bertelur. Burung Pipit bertelur empat butir. Ayam bertelur delapan butir,
Bangau bertelur tiga butir, Angsa bertelur lima butir, dan Wekwek bertelur dua
butir.
Mereka
mengerami telur disarang masing-masing. Pipit didahan asam. Ayam disemak-semak.
Angsa ditepi rawa. Bangau diatas pohon akasia. Tapi, Wekwek binging hendak
mengerami telurnya dimana. Sarangnya berantakan karena setiap hari ia hanya
bermain-main saja.
Wekwek
memanggil-manggil Bu Bangau, ‘Ayolah ajari aku mengerami telur.” Pintanya
memelas. Tapi, bu Bangau belum begitu mahir mengerami telur. “Aku baru belajar,
Wekwek, jadi aku minta maaf karena tidak bisa mengajarimu.”
“kalau begitu bagaimana jika telur iniku
titipkan saja kepadamu?”
Bu Bangau menolak. “sarangku sudah penuh dengan
telurku sendiri. Cobalah kau titipkan pada Bu Pipit. Barang kali ia mau.
Wekwek
pun mendatangi Bu pipit. Namun, begitu ia mengutarakan niat itu, bu Pipit
berperanjat. “apa? Menitipkan telur? Aduh, maaf, Wekwek. Aku tidak bisa.
Telurku akan pecah tertindih telurmu. Telurku kan kecil-kecil.”
‘Oh, alangkah malangnya nasibku,” keluh Wekwek.
“kenapa kau tidak menitipkannya pada Bu ayam
saja?”
Wekwek mendatangi Bu ayam untuk menitipkan
telur. Namun, Bu Ayam juga menolak. “maaf, Wekwek. Bukannya aku tak mau
menolong. Tapi telurku sudah terlalu banyak. Aku khawatir tidak akan bisa
merawatnya dengan baik,” alasannya.” Cobalah kau titipkan saja pada Bu Angsa.”
“bu Angsa?” Tanya Wekwek, enggan. ‘pasti dia
tidak akan mau karena menyepelekan pelajaran yang diberikan oleh suaminya.”
Tapi, akhirnya Wekwek mendatangi Bu Angsa juga.
“Bolehkah aku menitipkan telur?’ tanyanya.
“Apa?” bu Angsa terkejut. “jadi, telurmu belum
kau erami?”
Wekwek menggelengkan kepala. Bu Angsa khawatir.
“ini sudah berapa hari, Coba? Baiklah, aku akan mengeraminya. Tapi, aku tidak
janji telur itu akan menetas, sebab bisa jadi telur itu sudah rusak karena
tidak kau erami beberapa hari.”
Tak beberapa lama kemudian, telur-telur itu
mulai menetas. Bu pipit gembira. Telurnya yang menetas pertama. Disusul bu
Bangau dan Bu Ayam. Seluruh telur mereka menetas. Telur Bu Angsa menetas
beberapa hari kemudian. Tapi, diantara telur-telur itu, ada dua butir yang
tidak menetas. Warnanyna yang semula kemudian, kini agak hitam. Itu adalah
telur wekwek. ‘telurmu tidak bisa menetas,” kata Bu Angsa, sedih. Wekwek
menangis tersedu-sedu didepan telurnya yang membusuk. Ia menyesal. Ini semua
gara-gara ia tidak mau memperhatikan pelajaran yang telah di ajarkan Pak Angsa.
HIKMAH
YANG DAPAT DIAMBIL
Kita
harus memperhatikan ketika guru atu orang yang sedang memberikan pelajaran
kepada mereka. Sehingga kita bisa memahami apa yang diajarkan oleh guru kita.
Sehingga kita tidak seperti Wekwek yang tidak bisa mengerami telurnya sendiri.
Karena dia tida memperhatikan pelajaran dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda